Sabtu, Maret 27, 2010

CINTAKU BERTASBIH

Tuhan, ijinkan aku jadi jodohnya. Kala pertama kumelihatnya, hatiku langsung memilih dia untuk mencintainya. Hingga mulai saat itulah, aku memutuskan tuk selalu menungguinya tiap kali suara adzan terkumandang. Karena disaat itu pulalah, aku berkesempatan bisa bertemu dan melihatnya pergi ke masjid. Dia tetanggaku, empat rumah dari samping kanan kompleks rumahku adalah kontrakannya. Dia anak Malaysia yang kuliah di Fakultas Kedokteran. Aku mengetahuinya dari bisik-bisik tetangga, yang juga banyak memuja cowok Malaysia itu. Awalnya aku biasa saja, tapi entah mengapa semuanya berubah jauh dari bayanganku yang selama ini kuangankan. Soalnya saat pertama melihat diapun aku ngerasa kayak nggak ada perasaan yang spesial, malahan aku anggap sosoknya biasa-biasa saja. Karena dia punya kumis dan jenggot, sedangkan aku kurang naksir sama cowok seperti itu. Khan aku pikir, masalah tingkat kealiman seseorang hanya Allah Swt. saja yang tahu, bukannya diukur dari seberapa tebal dan panjangnya kumis dan jenggot seorang pria. Itu memang anggapanku, karena aku lebih suka sama cowok yang tidak punya kumis, jenggot, dan cambang. Tapi anggapan itu tiba-tiba tidak terterima lagi oleh hatiku saat tiap kali bertemu dengannya secara kebetulan. Dia waktu itu pake kacamata coklat gelap tengah lewat didepan aku dan para tetangga yang lain pada ngumpul buat beli bakso yang ”parkir” di depan rumahku. Di perkumpulanannya kami ada salah seorang tetanggaku yang menggendong bayi usia delapan bulannya dan aku melihat sidia mencemotkan mulutnya seolah gemas pada bayi itu sembari jalan mengendarai motor. Selain itu, aku sering melihat dia lewat depan rumahku, saat aku lagi duduk-duduk sendirian di sofa ruang tamuku .Jadi sejak saat itu, aku selalu berharap dan mempinta pada Tuhan agar minimal jadi sahabatnya dan maksimal jadi istrinya. Kulitnya putih kuning langsat, wajahnya oval persegi, hidung mancung, bibirnya tipis kecil, dan tingginya 167.
Suatu pagi saat aku di atas angkot menuju kampus, aku merasa sempat melihat kakinya dia saat tengah mengendarai motor di samping mobil angkutan umum yang aku tumpangi. Pernah juga saat tengah menumpangi angkot yang mencari penumpang depan kampus kedokteran aku sepertinya melihat dia tengah memarkir motornya depan kampus tempatnya kuliah, karena diajak bicara oleh seorang wanita berjilbab. Mungkin wanita itu teman Malaysianya. Tanggal 12 februari 2007, tepatnya sebelum Maghrib tiga menit lalunya. Dia naik motor melaju tepat lewat depan rumahku. Aku bahagia sekali bisa melihatnya kembali, setelah sehari tak melihatnya sejak sabtu 10 februari, saat pertama kalinyalah aku melihat sosoknya dari dekat tanpa kumis dan jenggot. Kemudian aku menungguinya diteras rumahku kala adzan Maghrib mulai terkumandang. Aku gelisah sekali dan terselubungi perasaan takut yang mendekam tiap merasa tak akan lagi bisa melihatnya, meski hanya lewat depan rumahku.
Tiap kali kudengar deringan motor, aku teranjak menyimak lalulalangan motor yang lewat dan kecewa karena tak melihatnya. Tiap terdengar langkah kaki, aku spontan gelisah dan berharap-harap cemas agar dialah yang kulihat. Tapi ternyata bukan. Setelah beberapa detik terdengar iqamah, aku merasa terpanggil untuk menuju ke pagarku untuk mengintip kearah rumah kontrakannya. Ternyata dari kejauhan tepat rumah ketiga dari rumahnya, dia tengah berjalan sendiri menuju kearah masjid dan melewati rumahku. Aku langsung saja merasa deg degan dan berharap agar Tuhan memberikan keajaiban cinta untukku. Melihatnya yang lewat depan rumahkupun, membuatku sempat bersujud syukur, sesaat setelah berlari masuk ke ruang tamuku ketika dia sudah lewat. Karena aku hari ini dating bulan, maka aku tidak sholat dan menggunakan kesempatan itu buat ngeceng. Dalam kegelisahanku menunggui kepulangannya lagi, membuatku untuk menutup atau membuka saja pintu ruang tamuku. Tapi karena memikirkan keadaan udara malam yang dingin, banyaknya nyamuk yang berkeliaran dan kucing-kucing yang kutakutkan bakal masuk ke dalam rumahku, akupun memutuskan untuk menutup pintu. Namun aku selalu waspada mendengarkan takbir per takbir dalam penghitungan empat rakaat shalat Isya. Saat kurasakan kalau-kalau dia hendak pulang, aku memberanikan diri keluar sembari mengenakan jilbab demi pengharapan agar dia mau melihat dan melirik kearahku. Beberapa menit kutunggui kedatangannya dengan cara melihat kearah jalan menuju masjid dan berdiri dipagarku. Alibiku melakukan itu, karena aku berencana sok-sok mengunci pagar yang sudah kukunci sore harinya. Saat sudah ternampakkan dirinya menuju pulang, aku sesegera mungkin berdiri dipagar dan memegangi kunci dan gembok pagar yang terkunci. Tapi tetap gelisah lama juga, karena dia berjalan cukup lambat dan santai. Lalu saat dia mulai lewat dekat rumahku, aku sok-sok membuka kembali kunci dan menggerak-gerakkan gembok agar terdengar suara besi pagar, lalu menguncinya secara perlahan-lahan lagi. Dalam pengharapan agar dia menoleh kearahku. Namun gonggongan anjing depan rumahku, membuatnya balik kearah suara itu, hingga akupun merasa salah tingkah sendiri. Sepertinya dia memang sengaja tak mau berbalik ke arahku, karena dia memang termasuk cowok alim. Tapi aku tetap senang dan puas, karena setidaknya masih bisa melihatnya. Hanya tinggal menunggu waktu buat kenalan dengan memohon pada Tuhan, karena aku tak tahu bagaimana caranya pdkt. Aku hanya bisa berdoa pada Tuhan agar dia dijodohkan denganku. Bahkan aku berpikir jauh sekali sepanjang mata memandang bahwa apabila aku ditakdirkan jadi istrinya, aku ikhlas menanggalkan impianku yang ingin menjadi wanita karir. Aku juga sempat berpikir lebih jauh lagi tentang jika dia jadi dokter dan ditugaskan ditempat primitif sekalipun atau didesa pedalaman, aku akan mengikutinya meskipun harus berganti kewarganegaraan Malaysia bila jadi istrinya.
(part2)
Hari ini tanggal 13 Februari 2007, aku mulai mencoba berjanji pada diriku untuk berubah. Karena menurutku, “takdir kita akan berubah, apabila kita mau merubah diri kita sendiri menjadi lebih baik”. Soalnya, aku dikenal cukup kasar dan pemarah dikalangan orang-orang yang mengenalku. Jadi aku benar-benar akan mulai berubah mulai hari ini demi cinta. Seperti biasa, aku bergegas keluar menantinya setelah adzan shalat Dzuhur. Saat itu, mama dan kedua adik lelakiku tengah jolok jambu. Aku hanya sengaja ikut-ikutan jolok dengan tujuan buat ngeceng. Karena aku berharap untuk melihatnya lagi. Selama ini aku belum mengetahui siapa namanya, karena aku malu untuk bertanya pada siapa. Ketika dia berjarak tujuh meter dekat rumahku, aku sudah melihatnya. Entah mengapa, tiba-tiba pandangan mataku melihat ke arahnya saat itu. Ternyata dia memang benar-benar tampan di siang hari akibat pantulan teriknya sinar matahari. Posisiku berdiri dilorong jalan halaman rumahku. Aku melihatinya terus berjalan dan berjalan tunduk tanpa menyangka dia tiba-tiba menatap kearahku. Selama beberapa detik, mata kami satu jaringan pandangan tapi sesegera pula ditundukkannya pandangannya dan diapun tetap berjalan menuju masjid. Lalu aku lari masuk ke dalam rumahku untuk melakukan rencara kedua. Aku memikirkan skenario agar aku bisa langsung mensenyuminya saat mata kami saling berpandangan lagi. Namun sayangnya, tidak begitu kenyataannya. Saat itu aku memang berencana ke kampus saat Dzuhur. Jadi aku berdandan rapi secepat mungkin seiring terlajunya waktu shalat Dzuhur. Sekeluarnya aku dari rumahku, aku berjalan perlahan-lahan untuk menghitung waktu selama dia hendak pulang. Merasa cukup lama tak kedatangannya, aku langsung saja mengintai masjid dan sepuluh detik kemudian dia muncul. Aku bahagia sekali karena perasaan dan ketepatan menghitung waktuku nyaris klop. Aku pun berpikir untuk pulang balik kearah rumahku meski tidak sampai depan pagar agar berdasarkan skenario, kami bisa saling berpapasan. Perlahan-lahan aku melangkah dan tetap menunggu kedatangannya dan berhenti tepat depan rumah tetanggaku dekat jalan yang juga kontrakan para anak Malaysia temannya dia. Ternyata dia lama sekali kalau berjalan, aku sudah merasa sangat kepanasan saat itu karena teriknya sinar matahari. Tapi aku memutuskan untuk tetap bertahan. Namun lama menunggupun, membuatku untuk mengintipi kedatangannya diantara terali pagar tanpa tahu sosoknya tiba-tiba muncul. Tapi sayangnya, aku hanya diam dan berjalan terpaku saat kedua mata kami satu frekwensi. Aku menyesal tak sempat mensenyuminya karena terlalu terpaku. Bahkan dialah yang lebih dulu menundukkan pandangannya dari arahku.
Tanggal 14 Februari 2007 hari ini, aku melakukan rencana yang telah kupikirkan sejak kemarin malam. Sore hari tepat waktu Ashar, aku keluar mengajak adik bungsuku usia lima tahun untuk membantuku menyapu halaman depan pagar. Karena sebelumnya, aku melihat cowok yang kayak dia dari belakang pake baju abu-abu, tapi ternyata bukan dia. Karena sidia pake kemeja biru kotak-kotak. Dia tengah mengsms sambil jalan depan rumahku dan tetap menunduk. Padahal aku tengah berusaha menggesekkan kaki kananku dilantai-lantai jalanan teras rumahku agar terdengar bunyi-bunyian, namun dia tetap konsentrasi. Aku mulai menyapu keluar depan pagar agar tidak menimbulkan kecurigaan dari orangtuaku. Padahal selama hidup, aku tidak pernah menyapu halaman depan rumah karena malas. Semenit waktu berselang serasa bagai berjam-jam. Aku berjongkok diam dan menghentikan menyapu depan pagarku, sekaligus melarang adikku yang lagi asik-asiknya menyapu agar menghentikan aktivitasnya. Dalam perenunganku menahan pusing pening kepalaku, tiba-tiba spontan aku merasa dia tidak bakal lewati depan rumahku, karena dia berjalan lurus ke depan tanpa belok ke arahku. Malahan cowok yang aku anggap mirip dialah yang aku lihat menuju jalan lewat rumahku. Cowok ini teman sekontrakannya dia. Tapi anehnya, pada jaraknya dia enam meter saat aku dan adikku tengah menyapu dari jaraknya berdiri jalan, cowok itu bersin dua kali. Setelah hari itu, aku memimpikan sidia. Karena selama ini aku selalu berharap agar dia tersenyum ke arahku. Dalam mimpi itu, aku tengah menungguinya lewat depan rumahku dan berdiri diteras rumahku. Dia tengah berjalan menuju masjid dan berbalik ke arahku tersenyum. Akupun membalas senyumnya dengan hati bahagia. Lalu tiba-tiba dia berkata”disini tempat tinggal kamu ya”katanya dengan senyum tawa.
(part3)
Kemudian, beberapa hari berikutnya, aku memimpikan dia lagi. Saat itu, aku seperti biasa pulang dari warung belakang rumahku untuk berpapasan temu dengannya sambil membawa helm besar ditangan kiriku dan nyaris mirip seperti helm yang dikenakan oleh dia. Saat kami sudah saling berhadapan jalan, dia berkata sambil senyum”halo solo”. Aku bingung kenapa dia mengatakan itu. Dan saat terbangunpun aku masih penuh tanda Tanya. Selain itu, tiap hari Jumat aku selalu menungguinya lewat dan selalu terlihat lewati rumahku baik saat dia pergi, maupun saat pulang. Tapi kadang juga dia tak nampak batang hidungnya. Pernah juga suatu hari, aku awalnya berencana menungguinya pulang dari sholat Dzuhur yang akan lewat depan rumahku. Tapi tidak jadi, karena mama menyuruhku menjemput adikku yang berusia tujuh tahun ke sekolahnya. Karena sudah lewat jam duabelas siang dia belum juga pulang. Saat menuju ke sekolah adikkupun, aku yang ditemani oleh adikku yang berusia enam tahun bertemu dengan teman sekontrakan sidia ditengah jalan sambil tunduk. Lalu aku merasa sepertinya sidia tidak ada, karena tidak pulang bersama-sama dengan teman sekontrakannya. Jadi aku kecewa berjalan melewati masjid yang dekat dengan sekolah adikku.
Setibanya aku disekolah adikku, aku melihat adikku tengah bermain dengan teman-temannya dan mengangkat telunjukku sebagai isyarat memanggilnya. Diapun menurut dan kami bertiga jalan meninggalkan sekolah itu. Saat kami berjalan menuju masjid, aku melihat sidia tengah pulang teman-teman Malaysianya, hingga spontan saja aku berlari dan diikuti oleh kedua adikku. Meskipun ada perasaan bersalah juga, karena satu kelereng adikku jatuh dan hendak diambilnya tapi tidak jadi karena aku memaksanya untuk cepat-cepat lari demi mencapai sidia. Ternyata berhasil. Dia memisahkan diri dari teman-temannya yang tinggal dibelakang rumahku, sedangkan dia hendak menuju ke rumahnya. Aku langsung saja mengikutinya dari belakang. Selama aku memperhatikan punggungnya, tinggiku sejajar dengan pundaknya. Kami serasa sangat dekat sekali. Tetapi aku berusaha untuk tidak jalan sejajar dengannya karena mencegah fitnah. Malahan adikku yang enam tahun pergi ke belakang sidia hingga aku menyebut nama adikku itu. Dia membaliki adikku sambil jalan yang juga jalan dibelakangnya lalu balik lagi ke depan sambil menunduk. Aku lalu menyebrang agar bisa berposisi dibelakang dia. Aku juga sengaja memegangi dada adikku yang awalnya tidak sengaja terpukul oleh tanganku saat menyebrang tadi. Dan sidia membaliki kami. Mungkin dia pikir, aku akan melakukan apa gitu sama dia. Tapi aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Aku tetap jalan dibelakang posisinya, dan dia terus-terus saja membaliki aku dan adik bungsuku. Tapi kuacuhi, karena aku merasa ini kesempatan emasku. Meski bukan berniat untuk kenalan. Tapi yang penting dia lihat wajahku, aku sudah puas. Kemudian, sidia sampai juga dirumah kontrakan kawannya yang diujung dekat jalan dan masuk mengunci pagar. Dia juga aku perhatikan, sempat lihat kearah kami. Dan aku merasa bahagia sekali. Alhamdulillah.
(part4)
Hari ini tanggal 17 Maret 2007, aku merasa sangat jenuh karena sudah lama tidak pernah melihatnya lagi. Karena aku terlalu sibuk urus urusan kuliah dan tugas-tugas dari dosen. Tapi aku terus saja memikirkan dia dan berharap bisa melihatnya lagi. Namun saat itu aku masih dikampus. Awalnya aku hendak pulang sebelum Ashar setelah kuliah selesai. Namun aku ditegur ajak oleh kawanku Ria untuk cerita-cerita. Dan entah siapa yang memulai, kami mulai bercerita tentang terorisme dan jaringan Al-Qaeda yang sangat menggemaskan hatiku untuk balas dendam atas kejahatan terburuk yang mereka lakukan. Tapi karena hatiku terus gelisah memikirkan sidia, aku pun berpamitan pada kawan-kawanku yang masih ingin kumpul cerita denganku. Tapi aku tetap bersikeras untuk pulang. Meskipun aku tahu kalaupun aku tiba dirumah, tidak bakalan ketemu dia. Karena sudah jam empat. Seturunnya aku dari angkot, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima, hingga membuat diriku terasa lemas dan memaksakan kedua kakiku agar semangat berjalan. Setibanya aku di pertengahan jalan, tiba-tiba saja dia ternyata muncul dan naik motor bersama kawan-kawannya melewatiku. Memang kasihan karena dicuekin, khan tak kenal maka tak sayang. Tapi biarlah, hatiku malah berangan dan membayangkan seandainya saja aku diboncengnya. Karena melihatnya, tubuhku semangat kembali dan mempercepat langkahku seolah ingin memburuinya, meski tidak mungkin lagi didapat, karena aku rasa dia sudah tiba lebih dulu dirumah. Tapi perasaanku keliru, dia ternyata tengah memarkirkan motornya depan rumah tetanggaku dekat ujung jalan dan posisinya berdiri sambil mengsms. Saat aku mulai berjalan tuju kearah rumahku dan akan melewatinya juga, tiba-tiba dibelakangku ada sebuah mobil kijang Innova silver akan melewati jalanan dekat rumahku yang adalah milik tetangga samping kiri rumahku. Hingga aku mendapat ide seketika yang berencana akan berpura-pura melihat ke belakang arah mobil agar dianggap aku tengah menghindari mobil dan langsung menabrak sidia. Aku bahkan merasa kalau dia melihatiku. Karena meskipun pandanganku bukan ke arahnya, aku masih bisa melihatnya dengan mata bayanganku sekalipun. Aku tidak tahu saat itu, mengapa aku tidak melihat ke arahnya untuk senyum. Malah pandangan mataku melihat ke samping, meskipun kepalaku terangkat. Tapi ternyata rencanaku gagal lagi, karena salah dalam menghitung waktu antara jalannya mobil dan sikapku melangkah. Aku malah nyaris menabrak motornya dan ditertawai oleh rekan-rekannya yang berdiri depan pintu pagar, sedangkan dia tersenyum seraya tunduk mengsms.
Setiap hari dan setiap waktu, aku terus saja memikirkannya. Meskipun penasaran juga, siapa sih namanya? Aku terus saja berdoa pada Tuhan agar setidaknya bisa jadi jodoh sahabat dan bertanya pula pada Tuhan, siapakah dia?. Tiap hari, tiap pergantian waktu shalat, aku terus saja menungguinya demi untuk melihat dia lewat depan rumahku. Tapi ternyata tidak tiap hari juga dia lewat depan rumahku, aku nggak tahu kenapa. Mungkin dia masih di kampus.
(part5)
Pernah suatu Maghrib saat iqamah, aku dan temanku Menni hendak pergi ke rumahnya. Ketika itu kami tengah berjalan kearah pagar, dan aku melihat sidia akan ke masjid. Lalu dia berbalik kearahku dan mata kami saling berpandangan beberapa detik. Aku semangat sekali tiap kali teringat hal-hal indah bersamanya. Meskipun hanya aku yang rasa secara sepihak. Sebenarnya aku ingin sekali bisa berkenalan dengannya, tapi tidak tahu bagaimana caranya, jadi aku memikirkan skenario dengan tujuan seolah-olah pertemuan kami dianggap kebetulan. Padahal, aku yang merencanakannya. Memang sih berhasil, tapi yang kulakukan hanya tunduk saja. Tiap kali terdengar adzan ataupun iqamah, aku pasti selalu keluar dan mengintip kearah rumahnya melalui pagarku. Dihalaman depan rumahku dulunya adalah kolam ikan, tapi karena ikannya sudah tiada, jadi kolamnya kering. Nah, dipinggir bekas kolam itu yang terbuat dari tumpukan batalah, kujadikan sebagai tempat pijakan buat mengintip. Saat-saat sebelum iqamah, aku berencana pergi ke warung belakang rumahku, agar saat pulang bisa berpapasan dengan dia. Dan rata-rata skenario yang kurencanakan berhasil. Meskipun kadang-kadang, ada juga yang meleset. Tapi tetap semangat! Karena aku masih bisa mengintipnya dari balik jendela ruang tamuku. Aku tidak berani menampakkan diri, karena malu. Meskipun saat Maghrib ataupun Isya aku selalu menungguinya pulang seraya berpura-pura kunci pagar atau lihat bintang. Tapi kadang-kadang juga bukan dia yang lewat, melainkan teman sekontrakannya. Pernah juga waktu Isya, aku menungguinya dengan gelisah lewat depan rumahku. Awalnya aku duduk-duduk diteras, tapi karena merasa terpanggil untuk mengintip, aku pergi saja kepagarku. Saat itu, tetangga disamping kiri depan rumahku sepertinya akan keluar jalan dengan mobilnya, jadi anaknya yang berusia sepuluh tahun tengah berdiri didepan pagarnya. Aku lalu melihat sepasang kaki berjalan menuju ke arahku, tapi kelihatan remang-remang. Ditambah lagi rimbunan daun asam yang pohonnya didepan pagar rumahku menghalangi pandangan. Aku merasa sidia yang akan ke masjid, jadi aku berlari turun dari atas kolam dan duduk diteras. Aku berpose memangku sebelah kakiku, dan melihatnya tertawa kearah anak tetanggaku dan sidia seakan-akan ingin balik ke arahku tapi ditahannya. Dia hanya balik 130. Kala itu, perasaanku malu campur bahagia, karena aku merasa dia tahu kukecengi. Aku lalu lari masuk ke kamar mandi dan tertawa girang diselubungi perasaan malu. Pokoknya aku malu sekali dan berpikir untuk lebih berhati-hati dalam mengecenginya lagi. Beberapa hari setelah kejadian itupun, temanku Menni memberitahuku kalau sidia pernah melaju pelankan jalan motornya saat lewat depan rumahku dan balik kearah rumahku. Perasaanku benar-benar malu campur senang, tapi lebih cenderung ke malu. Hingga pada suatu hari sepulangnya aku dari kampus, secara tak disengaja aku bertemu dalam satu mobil angkot dengan temanku yang bernama Oz, dia tetanggaan dengan sidia. Jadi kami saling menegur dan bercerita. Lama-kelamaan, aku memberanikan diri bertanya tentang sidia, apakah masih tinggal dikontrakannya sekarang atau tidak. Soalnya aku sudah tidak pernah lihat sidia lagi. Lalu tetanggakupun mengatakan kalau sidia sebenarnya masih ada disitu, Cuma selama ini dia sibuk jadi coass.
(part6)
Namanya Farid angkatan 2004 dan teman sekontrakannya bernama Nain. mendengar penuturan tetanggaku itu, hatiku serasa berjingkrak-jingkrak telah mengetahui namanya yang selama ini misteri bagiku. Tapi ada rada-rada bakal kehilangan juga, karena Farid sebentar lagi akan pulang ke Malaysia, setelah menyelesaikan studinya. Tapi aku berusaha bersikap sesantai mungkin, padahal setibanya aku dirumah langsung saja sujud syukur pada Allah Subhana Wata’ala. Pernah juga suatu hari aku pulang dari kampus saat waktu Maghrib. Kebetulan lagi datang bulan, jadi aku tidak shalat. So, aku memutuskan untuk pergi ke masjid dan menungguinya pulang dari shalat Maghrib. Posisi berdiriku saat itu dekat tiang listrik jadi tidak bakal terlihat oleh dia. Lama juga rasanya, sampai kakiku pegal-pegal karena kelamaan berdiri setelah lari sebelum tiba ditiang itu. Kemudian aku melihat orang-orang sudah keluar dari masjid dan rata-rata bapak-bapak. Aku tetap menunggu dan menunggu tapi kak Farid belum juga muncul. Hingga setelah lima orang bapak-bapak menegurkupun, aku terpaksa pulang karena takut menimbulkan kecurigaan dari orang-orang yang lewat. Beberapa waktu kemudian, aku pulang kuliah saat Maghrib lagi, dan langsung pulang ke rumah. Tapi ketika akan membuka gembok pagarku, kak Farid pulang dari masjid dan memboncengi teman sekontrakannya Nain. Mereka lalu masuk ke rumah dekat jalan. Akupun mendapat ide buat cari perhatian dengan cara berlari perlahan-lahan dan setibanya depan rumah ujung dekat jalan itu, aku berpura-pura nyaris jatuh karena pintu ruang tamunya terbuka. Lalu lari cepat-cepat sebagai rencana kamuflase. Saat itulah aku mendengar suaranya. Rasanya senang sekali, aku benar-benar bahagia. Padahal belum tentu khan tingkahku itu diperhatikan oleh kak Farid. Sejak saat itulah, tiap kali terdengar suara motor, aku selalu berlari ke ruang tamuku atau langsung berdiri di teras, ataupun diatas pinggir bekas kolam ikanku dulu karena menganggap dia kak Farid, meskipun kadang-kadang juga bukan. Malahan, lama sudah tak melihatnya selama ini, hatiku sangat merindukannya. Aku selalu menungguinya tiap pergantian waktu shalat, namun dia tak muncul-muncul juga. Jadi agak gelisah juga hatiku. Aku benar-benar sudah jatuh hati padanya.
Aku bahagia sekali hari ini, karena bisa melihat kak Farid lagi. Dia jalan kaki lewat depan rumahku untuk menuju masjid. Dan aku saat itu baru pulang dari kuliah. Kala itu, aku sudah masuk halaman rumahku, sedang kak Farid tengah jalan ke masjid. Jadi aku memperhatikannya melalui pagar rumahku yang hanya seleher dari kak Farid sambil menari-nari agar menarik perhatiannya dan tidak mempan. Kak Farid tetap jalan menunduk kearah masjid. Aku juga pernah melihat dia tengah menyapu didepan pagar rumahnya. Dia menyapu jalanan dan terus menyapu dengan asiknya. Tanpa tahu ada mobil yang melaju kerahnya dan diklakson. Diapun menghindar dengan santainya. Melihat sikap cueknya itu, membuatku cengesan sendiri. Maka tiap waktu menjelang Ashar, aku selalu melihat kearah kontrakannya. Tapi dia tak pernah lagi terlihat menyapu. Yang aku lihat hanya sisa-sisa daun yang sudah terkumpulkan. Selain itu, aku sering mendapatinya melajukan motor lewat depan rumahku dan kuintip melalui pagarku. Tapi secara sembunyi-sembunyi, karena aku malu kalau ketahuan oleh siapapun maupun kak Farid. Dan terus kulakukan setiap hari hingga suatu hari aku tak melihatnya selama beberapa hari pula. Jadi aku resah dan merasa kecewa tiap kali menunggu ketaktampakannya. Hingga aku berdoa sambil duduk dipinggir kolamku seraya menungguinya pulang dan berdoa. Tuhan ampuni aku yang mencintai makhluk-Mu secara berlebihan. Ampuni aku yang selama ini dilalaikan oleh perasaan itu. Ampuni aku yang kadang melupakan-Mu, kala kuingat dia. Maafkan aku yang tak pernah lepas dalam anganku tentang dia. Tolong kirimkan perasaanku hambaMu ini, yang penuh dengan angan-angan rendah karena perasaan cinta yang berlebihan, melalui udara dari hembusan nafasku padanya. Tolong sampaikan kegundahanku padanya, karena tak pernah melihatnya lagi. Aku mencintainya, sangat mencintainya Tuhan. Aku berharap dia bisa jadi pasangan hidupku, karena aku mencintainya. Aku mengangankannya, karena mengira dialah jodohku. Sebab kami biasanya saling ketemu tanpa kupinta sekalipun. Aku bahkan merasakan dia diciptakan untukku, Oleh-Mu Tuhan.
(part7)
Keesokan harinya, aku melihat dia muncul dan lewat depan rumahku. Dan keesokan harinya lagi, aku mengintip kearah rumahnya setelah Adzan Dzuhur terkumandang. Lalu Iqamah terdengar, dan dia tak muncul-muncul. Aku tetap mempertahankan posisi dan melihat kearah pagarnya. Tapi secara spontan, aku berbalik kearah jalan menuju masjid dan kak Farid muncul juga. Dia sepertinya melihatku saat mengintipi kearah pagarnya tadi. Karena malu, aku langsung jongkok dan mengintipinya dari celah-celah pagarku menunggu kehadirannya. Anehnya, saat dia melajukan motornya lewat depan rumahku secara perlahan-lahan. Dia mengeraskan suara derungan motornya, seolah memberikan isyarat untukku. Tapi karena perasaan bahagiaku bisa melihatnya, aku tak menutupi kuping telingaku. Lalu hari demi hari, meskipun kadang-kadang bisa melihatnya dan kadang-kadang juga tidak. Aku tetap mencintainya. Pernah juga suatu jumat, aku memang berniat mengecengi kak Farid. Saat khotbah dia sudah jalan menuju masjid. Karena aku ingin terlihat modis untuknya, aku berpenampilan pake celana panjang dan kemeja dengan switer sebagai rompinya. Aku menunggui kepulangannya dan melihat orang-orang sudah pulang satu-persatu. Tapi dia belum pulang juga. Aku tahu dia pasti sedang berdzikir. Aku menunggunya seraya mengintip diantara celah-celah tanaman dirumah tetanggaku dan diapun terlihat berjalan kearahku. Meskipun aku sudah merasa kalau dia mulai menghindariku. Aku tidak perduli. Aku berjalan menuju pagar dengan alibi akan keluar. Saat itu pula, aku membuka pagar dan menutupnya kembali lalu keluar. Aku rasa dia pasti lihat aku, meskipun langsung menundukkan pandangannya.
Kemudian tanggal 30 April 2007, pagi ini aku menunggui kak Farid lewat depan rumah diterasku. Perasaanku spontan cemas dan gelisah menunggui kemunculannya, meskipun masih sebatas harap-harap cemas. Karena aku berpikir dia tidak akan lewat. Saat aku tengah duduk diruang tengah, aku mendengar deruan suara motor dan secara spontanitas aku berlari ke pagarku yang batas tingginya sedadaku saat kuberdiri diatas pinggir bekas kolam ikanku dulu. Aku bahagia karena ternyata kak Farid baru saja akan pergi dari rumahnya dan melajukan motornya melewati rumahku. Tapi dia tak melihatku. Dia memang cuek abis, karena setiap kali aku mengecenginya, dan aku sudah tanpa malu-malu lagi untuk memperlihatkan diri. Dia tetap acuh tak acuh. Aku memang memutuskan untuk memberanikan diri agar bisa selalu dilihat olehnya tiap kali ngeceng, tapi gagal juga. Tak apalah, setidaknya aku sudah berani menampakkan diri disiang hari. Karena aku merasa dia bakal mengenalku saat melihatku, tapi tetap saja tidak terjadi apa-apa. Lalu tanpa disangka-sangka lagi pukul 09:50, aku dan adik bungsuku sedangkan adik tujuh tahunku sekolah, main manjat-manjat dan duduk diatas pagar. Tidak lama kemudian aku turun dari pagar untuk menjaga keseimbangan adikku yang tengah duduk diatas pagar sembari memainkan daun asam yang baru dicabutinya. Kala itu terdengar derungan motor yang anehnya kami spontan balik kearah suara itu dan melihat kak Farid memakai jeket ungu kebiruan menuju pulang. Aku langsung menyembungikan diri dari balik pagar sembari memegangi adikku yang masih duduk. Dengan PDnya adikku melihati kak Farid yang kuanggap tidak dikenalnya, sedangkan aku hanya bisa malu-malu sembunyi muka seraya memegangi kaki adikku. Lalu saat aku memberanikan diri untuk menatapnya, dia langsung membuang pandangan ke depan dan tetap melaju pelankan motornya dengan DDxxxx.., kecewa juga sih dicuekin, tapi yaa mau apa lagi. Cinta khan tak bisa dipaksakan. Tapi aku akan tetap mencintai kak Farid atas nama cinta dan agama. Ih, biasa’ dong!